Semakin lama manusia
semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini
bahwa dengan kemampuan akal segala macam persoalan dapat dijelaskan, semua
permasalahan dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh masalah
kemanusiaan.
Filsafat pada zaman
modern terletak pada kemampuan akal
manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan
manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal.
Kekuasaan yang mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta Raja dengan
kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
Dengan kekuasaan akal
tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih sempurna,
dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal
ini sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu
keinginan untuk menyusun suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat
tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal dalam filsafat
dikenal dengan nama aliran rasionalisme.
Rasionalisme adalah
suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang
mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran
pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau
sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat
menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif.
Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan
“aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
Pada zaman modern
filsafat, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene Descartes (1595-1650). Tokoh
rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm
Leibniz (1646-1716). Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut
Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah
orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan atas
keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula orang
pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas
yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan
iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak
puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban.
Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan
lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama
Kristen, selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat
yang berbasis pada akal.
Descartes sangat
menyadari bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar filsafat
haruslah rasio. Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih berpegang teguh pada
keyakinan bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam jargon credo
ut intelligam yang dipopulerkan oleh Anselmus. Untuk meyakinkan orang bahwa
dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasinya dalam sebuah metode yang
sering disebut cogito Descartes, atau metode cogito saja. Metode
tersebut dikenal juga dengan metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar