Senin, 26 Desember 2016
4 Persoalan Imanuel Kant
Menurut Imanuel Kant ( 1724 –
1804 ), Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari
segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan. Yaitu:
1) What can I Know ? (Apakah yang dapat saya
ketahui) Epistemologi
Pemikiran Immanuel Kant tantang Pengatahuan.
Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila
seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi bila pengetahuan itu
datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman,
bahkan tidak bergantung pada indera, yang kebenarannya a priori. Kant
memulainya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat kita ketahui seandainya
seluruh benda dan indera dibuang. Seandainya tidak ada benda dan tidak ada alat
pengindiera, apakah ada sesuatu yang dapat kita ketahui?.
Menurut Kant, pengetahuan manusia muncul dari dua
sumber utama yaitu pengalaman pancaindra dan pemahaman akal budi (rasio).
Pengalaman yang diperoleh melalui pancaindra kita kemudian diolah oleh
pemahaman rasio kita dan menghasilkan pengetahuan. Itu sebabnya pengetahuan
manusia selalui bersifat apriori dan aposteriori secara bersamaan. Tanpa
pengalaman indrawi maka pengetahuan hanyalah konsep-konsep belaka, tetapi tanpa
pemahaman rasio pun pengalaman indrawi hanya merupakan kesan-kesan panca indra
belaka yang tidak akan sampai pada keseluruhan pengertian yang teratur yang
menjadikannya sebagai sebuah pengetahuan.
Pengetahuan bermula dari pengalaman pancaindra
yang kemudian diolah oleh pemahaman rasio untuk menghasilkan sebuah pengetahuan
yang menyeluruh dan teratur. Oleh sebab itu, maka segala sesuatu yang tidak
bisa dialami oleh pancaindra tidak bisa dijadikan sebagai sumber pengetahuan,
tetapi hanya sebagai sebuah hipotesis belaka.
2) What Shoul I do ? (apakah yang harus saya
perbuat) persoalan pada pedoman hidup /aksiologi/nilai/etika
Pemikiran Kant
tantang Etika (Deontologi). Etika disebut juga filsafat moral, yang
berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata
mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Objek material etika adalah
tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan
atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang
telah berusia sangat lama. Sejak manusia terbentuk, persoalan perilaku yang
sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu,
kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat
diukur secara etis yaitu Deontologis dan Teologis. Teori Deontologis dihasilkan
oleh pemikiran Immanuel Kant. Deontologi berasal dari kata Deon (Yunani) yang
berarti kewajiban. Menurut teori ini perbuatan adalah baik jika dilakukan
berdasarkan “imperatif kategoris” (perintah tak bersyarat). Yang menjadi dasar
bagi baik buruknya perbuatan adalah kewajiban dan tujuan yang baik tidak
menjadikan perbuatan itu baik.
Menurut Kant ada tiga kemungkinan seseorang
menjalankan kewajibannya, pertama, ia memenuhi kewajiban karena hal itu
menguntungkannya. Kedua, ia memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari
perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga, ia memenuhi
kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi
kewajibannya.
3) What may I Hope ? (apakah yang boleh saya
harapkan) Agama
Pemikiran Immanuel Kant Tentang
Agama dan Tuhan. Meskipun Kant lebih dikenal sebagai filsuf yang berkecimpung
dalam bidang epistemologi dan etika, tetapi kajian tentang Tuhan pun tak luput
dari penelaahannya. Immanuel Kant
berargumentasi bahwa konsep seseorang tentang Tuhan harus berasal dari
penalaran; oleh karena itu, ia menyerang bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan,
dengan menyangkali keabsahannya. Kant berpendapat bahwa tidak dapat ada
terpisah pengalaman yang dapat dibuktikan melalui pengujian. Dalam hal ini,
Kant mengkombinasikan rasionalisme (kebertumpuan pada penalaran manusia) dan
empirisme (pembuktian sesuatu berdasar metode ilmiah).
Bagi Kant, Tuhan bukanlah soal
teoretis, melainkan soal praktis, soal moral, soal totalitas pengalaman, dan
arti atau makna hidup terdalam (ini dampak positifnya). Dampak negatifnya
adalah bahwa sebagai “postulat’ (penjamin) moralitas, Tuhan adalah konsekuensi
moralitas, maka moralitas merupakan dasar keberadaan Tuhan. Karena itu, muncul
tendensi pada Kant untuk meletakkan agama hanya pada tataran moralitas semata
atau perkara horizontal saja (hubungan antar manusia saja atau soal perilaku di
dunia ini saja). Konsekuensinya, agamanya Kant, tidak memerlukan credo
(kepercayaan).
Kant menyatakan bahwa memang
Tuhan hanya bisa didekati melalui iman dan iman itu dilandasi oleh hukum moral.
Hukum moral mewajibkan kita untuk selalu melakukan kebaikan. Tetapi hukum moral
ini mensyaratkan tiga hal utama, yaitu: kebebasan, keabadian jiwa, dan
keberadaan tuhan.
4) What is man ? (apakah manusia itu) berfokus
pada hakekat manusia apa arti manusia, antropologi
Pandangan Imamuel Kant tantang Manusia. Kant
mengatakan bahwa hanya manusia-lah tujuan pada dirinya, dan bukan semata-mata
alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang. Di dalam segala
tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada orang
lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan. Bagi Kant, manusia-lah
aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman
(pengindraan) dan kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui
kehendak yang otonomlah jiwa membangun moralitas.
Visi dan Misi Pendidikan Nasional
Pendidikan memiliki
peran yang sangat penting bagi kemajuan bangsa Indonesia. Pendidikan dapat
mempengaruhi dan merubah kelangsungan hidup seseorang dan memberikan peluang
untuk meningkatkan mutu kehidupan seseorang. Untuk mendapatkan tingkat mutu
kehidupan yang lebih baik, pendidikan senantiasa harus di perbaharui dan harus
mengikuti zaman. Betapa pentingnya suatu pendidikan, baik disadari atau tidak,
pendidikan dapat merubah seseorang menjadi lebih beradab, berakhlak dan berbudi
pekerti.
Dalam mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik, maka di
butuhkanlah suatu visi dan misi pendidikan nasional. Visi Pendidikan Nasional
adalah Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tentangan zaman
yang selalu berubah.
Dalam Visi pendidikan
nasional disebutkan bahwa terwujudnya pendidikan nasional adalah sebagai pranata
sosial. Pendidikan sebagai pranata sosial artinya pendidikan dijadikan sebagai
pedoman masyarakat dalam bertingkah laku atau bersikap dalam usaha memenuhi
kebutuhan hidupnya, memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian
sosial, serta dijadikan sebagai wadah untuk memperjuangkan kesejahteraan
masyarakat. Kata “Berwibawa” artinya pendidikan nasional mampu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun pada saat ini,
karakter bangsa Indonesia sudah mulai luntur seiring dengan perkembangan
teknologi yang semakin pesat. Bisa kita jumpai banyak siswa/siswi yang
berperilaku tidak pantas kepada guru, sampai-sampai guru masuk kedalam gerigi
besi akibat ulah peserta didiknya. Dan banyak sekali kasus yang terjadi,
diantaranya pembunuhan, pergaulan bebas, narkoba, tawuran dan masih banyak
lagi. Ini membuktikan bahwa visi pendidikan nasional yang bertujuan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat masih belum bisa terselenggara
dengan baik.
Visi pendidikan
nasional yang selanjutnya ialah untuk memberdayakan semua warga Negara
Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tentangan zaman yang selalu berubah. Dengan pendidikan kita
sebagai warga Negara Indonesia diharapkan menjadi manusia yang berkembang baik
itu di dalam negeri maupun di luar negeri, dan proaktif dalam menanggapi suatu
permasalahan sebagai suatu tuntutan zaman. Pendidikan mampu membentuk generasi
yang berkualitas yang nantinya akan menjadi agen perubahan atau agent of change
yang akan membawa harum Indonesia sehingga bisa bersaing dengan Negara-negara
lain.
Namun, pada
kenyataannya banyak warga negara Indonesia yang pintar, kreatif dan berkualitas
yang mampu membuat suatu produk-produk inovasi malah dipandang sebelah mata.
Justru terkadang malah mereka lebih dihargai dan dipandang ketika mereka berada
di luar negeri. Contoh, BJ HABIBIE, beliau adalah orang yang pintar, kreatif,
hebat dan memiliki produk inovasi yang menguntungkan bagi Indonesia malah pada
mulanya beliau kurang dihargai, namun setelah beliau ke luar negeri dan
terkenal disana barulah Indonesia sadar bahwa hal tersebut itu sangat penting
Oleh karena itu, untuk
mewujudkan visi pendidikan nasional ini dibutuhkan kerjasama dari berbagai
pihak, bukan hanya tenaga pendidik saja tapi seluruh aspek baik lingkungan dan
peran pemerintah agar bangsa Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi ke depannya
Pentingnya Kesadaran Bagi Pendidikan
Betapa
pentingnya kesadaran akan pendidikan di Indonesia ini. Indonesia berada
ditingkat paling bawah untuk pendidikannya. Agar Indonesia mampu bersaing
dengan Negara-negara lain maka dibutuhkannya suatu kesadaran akan pentingnya
pendidikan. Di Indonesia kesadaran akan pentingnya pendidikan itu sangat minim
sekali, dapat kita lihat banyak sekali anak-anak yang putus sekolah. Banyaknya
angka putus sekolah ini di akibatkan oleh para orangtua mereka yang kurang
sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak. Pendidikan merupakan hal yang
sangat penting, karena dengan pendidikan peradaban di dunia ini akan menjadi lebih
maju dan baik.
Pendidikan pula dapat meningkatkan taraf hidup seseorang
karena dengan pendidikna seseorang tidak di pandang sebelah mata atau tidak di
remehkan lagi oleh orang lain. Betapa pentignya pendidikan, dengan kita
berpendidikan saja kita bisa merubah dunia, kita bisa menyelesaikan berbagai
permsalahan diantaranya kemiskinan, buta huruf dan lain-lain. Dengan pendidikan
pula Negara ini bisa maju dan berdaya saing dengan Negara lain.
Kesalah-Pahaman Tentang Tujuan Filsafat
Berfilsafat memang memberikan manfaat
“praktis” yang cukup luas dan berjangka panjang. Perbedaan di antara para
filsuf terletak pada konsekuensi-konsekuensi pengetahuan filsafat bagi
bidang-bidang semisal kebahagiaan pribadi, tindakan pribadi, kemasyrakatan dan
pendidikan. Untuk menilai konsekuensi-konsekuensi itu, terlebih dahulu kita
harus memahami apa-apa yang tidak termasuk di dalamnya. Kita perlu meluruskan
beberapa kesalahpahaman terhadap tujuan filsafat. Berikut kesalahpahaman yang
sering terjadi mengenai tujuan filsafat.
Pertama, filsafat tidak bertujuan untuk
bersaing dengan sains. Dua bidang ilmu hanya dapat bersaing jika objek kedua
bidang itu pada prinsionya sama. Persoalan–persoalan konseptual yang menjadi
perhatian para filsuf berbeda jenisnya dengan proses alam yang menjadi kajian
para ilmuwan. Terlebih lagi, para ilmuwan berusaha menjelaskan fenomena alam,
sementara para filsuf bukan saja tidak berkompeten, melainkan bahkan tidak
pernah mencoba menjelaskan fenoma alam. Namun, dalam arti tertentu, tujuan
sains dan filsafat mungkin dapat dikatakan bertumpang tindih juga, sejauh
masing-masing mencoba mencari pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
Kedua, filsafat tidak bertujuan untuk bersaing dengan teologi. Sama seperti
para filsuf, para teolog juga mendukung pandangan yang mereka lontarkan dengan
pertimbangan rasional, dan sama-sama mengkaji persoalan-persoalan non-empiris
yang berada di luar jangkauan sains. Terlebih lagi, teologi telah mengalami lingkup
dan tujuan teologi. Namun, filsafat dan teologi, meskipun dapat
diperbandingkan, memiliki tujuan yang berbeda.
Teologi tradisional terbagi menjadi
teologi wahyu (revealed theology) dan
teologi kodrati (natural theology).
Dalam teologi wahyu, akal berfungsi untuk menafsirkan dan mempertahankan
dogma-dogma yang kebenaranya diterima berdasarkan iman. Dalam hal ini, tujuan
teologi kodrati, keyakinan-keyakinan pokok, terutama yang berkenaan dengan
eksistensi Allah, didukung dengan argumen-argumen rasional, terlepas dari iman
dan autoritas. Dalam hal ini, objek dan metode teologi kodrati sebagian
berimpitan dengan filsafat. Para filsuf juga tertarik untuk memberikan
pertimbangan, dukungan, atau kritik secara rasional terhadap argumen-argumen
mengenai eksistensi Allah. Namun, tujuan filsuf dan teolog berbeda.
Terakhir, bukan tujuan filsafat untuk
secara aktif menganjurkan perubahan-perubahan, baik perubahan diri pribadi
maupun perubahan sosial. Berlawanan dengan anggapan keliru yang ada di benak
banyak orang hingga kini, para filsuf tidak mengantongi “rahasia jawaban”
tentang apa seseungguhnya hidup ini. Dalam hal itu biasanya mereka tidak
berpura-pura. Hampir semua guru filsafat pernah dibuat terpaku oleh permintaan
seperti “Anda seorang filsuf kan? Nah, katakana apa yang harus saya lakukan “
(bercerai, meninggalkan tugas jaga, ikut dalam gerakan revolusi, mencari resep
pil KB untuk anak gadis saya yang berumur lima belas tahun, dan lain-lain).
Tujuan filsafat tidak boleh dikacaukan dengan tujuan seorang menteri,
politikus, psiko-analis, ataupun konselor pribadi.
HUMANISASI
Pendidikan
di yakini sebagai kunci utama pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia.
Namun pendidikan di Indonesia mengalami proses “dehumanisasi” yaitu proses
mnjadikan manusia tidak esuai dengan kodratnya sebagai manusia. Dikatakan demikian
karena pendidikan tersebut mengalamai proses kemunduran dengan terkikisnya
nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Sebagai contoh tawuran antar
pelajar, pemakaian narkoba, pornografi dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
pendidikan hendaknya dikembalikan menjadi proses humanisasi. Yaitu proses
menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia
Tujuan
pendidikan menurut Freire adalah humanisasi yang artinya memanusiakan manusia.
Humanisasi menurut Ki hajar Dewantara yaitu menuntut segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Kodrat dimaknai sebagai bawaan manusia, menurut Ki Hajar Dewantara (Syarifudin,
2015;26) manusia dilahirkan dengan bekal kekuatan kodrati yang lengkap tetapi
belum semuanya sempurna, adapun kekuatan kodrati tersebut yaitu :
·
Akal
budi
·
Rasa
iman
·
Insting
·
Nafsu
(memilki potensi untuk berbuat baik atau jahat).
Berdasarkan pendapat
Syarifudim dan Hasbullah dapat disimpulkan bahwa humanisasi adalah tercapainya
kodrat dan dharma manusia. Kodrat dan dharma manusia bisa dicapai melalui
atribut-atribut dari jiwa manusia yang disebut trisakti jiwa (cipta, rasa dan
karsa).
Langganan:
Postingan (Atom)