Salah
satu ciri atau sifat manusia adalah keingintahuannya terhadap apa yang
ditanggapi oleh panca indera, terutama indera penglihatan. Oleh karena itu,
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan telah diberi potensi melalui rasio
(potensi akal) dan rasa (kalbu). Rasio adalah kemampuan manusia yang bertumpu
pada akal, menolak sesuatu yang tidak masuk dalam perhitungan akaliah (logika).
Soewardi (1999: 275) mengemukakan ilmu rasio atau nomotetikal berlandaskan
hukum-hukum sebab-akibat, sebab akibat ini juga disebut kausalitas. Kausalitas
adalah keperilakuan jagat raya dan juga keperilakuan manusia. Kausalitas
disebut pula sunnatullah, ketetapan Tuhan sebagaimana telah dijelmakan di jagat
raya. Sunnatullah merupakan ketetapan yang abadi, yang menjadi pegangan bagi
manusia dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Misalnya, hubungan
kausalitas dapat terlihat pada kenyataan yang ada di sekitar kita, ada asap
pasti ada api, jika air dipanaskan akan menguap, dan kayu kering akan terbakar
jika dikenai api. Segala sesuatunya selalu ada hubungan kausalitas. Akan
tetapi, bagaimana cara mengambil suatu simpulan mengenai suatu kenyataan yang
tidak selalu memiliki hubungan kausalitas, misalnya Nabi Ibrahim a.s yang
dibakar dengan api, tetapi tidak terbakar hangus, melainkan merasa sejuk saat
dibakar. Di sini dapat terlihat keterbatasan manusia di sisi-Nya. Ini
disebabkan oleh kemampuan manusia yang dapat disketsa dengan satu tanda titik
kecil, sedangkan jagat raya sangat luas. Sulit sekali untuk mengungkap setiap
rahasia jagat raya dengan keterbatasan pada diri manusia.
Dalam
perkembangannya rasio selalu mendominasi dalam perkembangan pengetahuan sains.
Pengetahuan sains merupakan suatu hal yang rasional dan empiris. Sesuatu dapat
dikatakan rasional apabila dapat diterima oleh akal pemikiran manusia yang
didasarkan pada rasio. Corak berpikir yang dipengaruhi oleh unsur-unsur logis
seperti ini di dalam filsafat dikenal sebagai rasionalisme. Aliran yang
memandang bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Oleh karena itu,
rasio dianggap sebagai alat yang penting dalam memperoleh dan menguji
pengetahuan. Sehingga ada sebagian yang menyatakan bahwa rasio sebagai suatu
potensi akal menjadi sumber kebenaran yang mengatur manusia dan alam. Jadi,
sesuatu yang masuk akal (logis) dianggap benar dan sesuatu yang di luar dari
akal (tidak logis) dianggap tidak benar (salah).
Perkembangan
ilmu yang didominasi oleh rasio dikenal dalam ilmu di Barat (modern). Ilmu yang
memisahkan diri dari rasa. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Soewandi
(1999: 275). Ilmu Barat atau modern hanya mengakui rasio yang menghasilkan ilmu
nomotetikal. Ilmu normatif dianggap tidak boleh mencampuri ilmu nomotetikal.
Inilah yang oleh Weber disebut etis netral. Bila keduanya itu bercampur (confused),
simpulan yang ditarik akan kabur. Ilmu nomotetikal adalah ilmu yang
‘lugas-formal’.
Cara
kerja sains adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh
sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sains adalah tidak ada kejadian tanpa
sebab. Bakhtiar (dalam Kusasi, 2005: 4) menyatakan mengenai keberadaan asumsi
ini yang dianggap benar apabila sebab-akibat memiliki hubungan yang rasional.
Jadi, antara ilmu dan rasio memiliki kaitan yang sangat erat, apalagi di dalam
ilmu Barat. Sain dianggap sebagai hasil dari potensi akal. Dalam hal ini sain
terlepas dari rasa karena sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, pantas
atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan, indak atau jelek. Sain hanya
memberikan nilai benar atau salah.
Manusia
yang diberi potensi akal (rasio) dan potensi kalbu (rasa) oleh Tuhan, akan
membantunya untuk mengetahui dan memahami alam semesta meski masih dengan cara
yang sederhana. Keduanya harus digunakan secara seimbang untuk meningkatkan
kesejahteraan. Oleh karena itu, rasio harus diimbangi pula dengan rasa dalam
kaitannya dengan ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar