Rabu, 21 Desember 2016

Rasio dan Rasa



Salah satu ciri atau sifat manusia adalah keingintahuannya terhadap apa yang ditanggapi oleh panca indera, terutama indera penglihatan. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan telah diberi potensi melalui rasio (potensi akal) dan rasa (kalbu). Rasio adalah kemampuan manusia yang bertumpu pada akal, menolak sesuatu yang tidak masuk dalam perhitungan akaliah (logika). Soewardi (1999: 275) mengemukakan ilmu rasio atau nomotetikal berlandaskan hukum-hukum sebab-akibat, sebab akibat ini juga disebut kausalitas. Kausalitas adalah keperilakuan jagat raya dan juga keperilakuan manusia. Kausalitas disebut pula sunnatullah, ketetapan Tuhan sebagaimana telah dijelmakan di jagat raya. Sunnatullah merupakan ketetapan yang abadi, yang menjadi pegangan bagi manusia dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Misalnya, hubungan kausalitas dapat terlihat pada kenyataan yang ada di sekitar kita, ada asap pasti ada api, jika air dipanaskan akan menguap, dan kayu kering akan terbakar jika dikenai api. Segala sesuatunya selalu ada hubungan kausalitas. Akan tetapi, bagaimana cara mengambil suatu simpulan mengenai suatu kenyataan yang tidak selalu memiliki hubungan kausalitas, misalnya Nabi Ibrahim a.s yang dibakar dengan api, tetapi tidak terbakar hangus, melainkan merasa sejuk saat dibakar. Di sini dapat terlihat keterbatasan manusia di sisi-Nya. Ini disebabkan oleh kemampuan manusia yang dapat disketsa dengan satu tanda titik kecil, sedangkan jagat raya sangat luas. Sulit sekali untuk mengungkap setiap rahasia jagat raya dengan keterbatasan pada diri manusia.
Dalam perkembangannya rasio selalu mendominasi dalam perkembangan pengetahuan sains. Pengetahuan sains merupakan suatu hal yang rasional dan empiris. Sesuatu dapat dikatakan rasional apabila dapat diterima oleh akal pemikiran manusia yang didasarkan pada rasio. Corak berpikir yang dipengaruhi oleh unsur-unsur logis seperti ini di dalam filsafat dikenal sebagai rasionalisme. Aliran yang memandang bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Oleh karena itu, rasio dianggap sebagai alat yang penting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Sehingga ada sebagian yang menyatakan bahwa rasio sebagai suatu potensi akal menjadi sumber kebenaran yang mengatur manusia dan alam. Jadi, sesuatu yang masuk akal (logis) dianggap benar dan sesuatu yang di luar dari akal (tidak logis) dianggap tidak benar (salah).
Perkembangan ilmu yang didominasi oleh rasio dikenal dalam ilmu di Barat (modern). Ilmu yang memisahkan diri dari rasa. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Soewandi (1999: 275). Ilmu Barat atau modern hanya mengakui rasio yang menghasilkan ilmu nomotetikal. Ilmu normatif dianggap tidak boleh mencampuri ilmu nomotetikal. Inilah yang oleh Weber disebut etis netral. Bila keduanya itu bercampur (confused), simpulan yang ditarik akan kabur. Ilmu nomotetikal adalah ilmu yang ‘lugas-formal’.
Cara kerja sains adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sains adalah tidak ada kejadian tanpa sebab. Bakhtiar (dalam Kusasi, 2005: 4) menyatakan mengenai keberadaan asumsi ini yang dianggap benar apabila sebab-akibat memiliki hubungan yang rasional. Jadi, antara ilmu dan rasio memiliki kaitan yang sangat erat, apalagi di dalam ilmu Barat. Sain dianggap sebagai hasil dari potensi akal. Dalam hal ini sain terlepas dari rasa karena sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan, indak atau jelek. Sain hanya memberikan nilai benar atau salah.
Manusia yang diberi potensi akal (rasio) dan potensi kalbu (rasa) oleh Tuhan, akan membantunya untuk mengetahui dan memahami alam semesta meski masih dengan cara yang sederhana. Keduanya harus digunakan secara seimbang untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu, rasio harus diimbangi pula dengan rasa dalam kaitannya dengan ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar