Pikiran manusia
cenderung bersifat analitis, memilah-milah, separa¬tis, friktif, parsial.
Sebaliknya, pikiran tidak mampu mencerap objek secara tuntas. Hal ini
disebabkan :
a. Hakikat sesuatu objek pikiran selalu bersifat tersembunyi,
atau setidaknya tidak akan pernah tuntas dicerap secara menyeluruh oleh
pikiran. Ya, selalu saja ada bagian yang tidak kita mengerti. Makin banyak yang
diketahui, maka jauh lebih banyak lagi yang belum diketahu. Kalau kita mengenal
istilah metodologi, maka sebenarnya hanya berarti “cara logis untuk mendekati
objek”, dan bukan cara mencerap objek secara tuntas.
b. Dalam konteks praktis, biasanya kita lalu membagi
tugas kepada beberapa orang dari berbagai disiplin ilmu misalnya. Model
“membagi tugas” seperti ini mengandung kelemahan atau bahaya, kalau kita tidak
memahami karakter pemikiran di balik pembagian tugas itu
c. Oleh karena pikiran tidak akan pernah mampu mencerap
hakikat objek secara tuntas, maka berarti pikiran tidak akan pernah mampu
berbicara perihal kebenaran. Pikiran hanya mampu berbicara perihal kebetulan.
Mengambil hikmah dari gambar di atas, maka “kebetulan + kebetulan = kebenaran”
bukan? artinya, kita tidak bisa menemukan kebenaran dengan mengumpulkan
kebetulan-kebetulan. Dengan kata lain, pikiran tidak mampu melakukan valuasi
(penilaian salah-benar), pikiran hanya mampu melakukan evaluasi (menyatakan
fakta-fakta parsial).
Contoh:
Suatu penelitian menghendaki Anda mengukur/mengamati karakter daun tanaman rambutan. Perhatikan kata daun, tanaman dan rambutan. Dan perhatikan pula, bagaimana suasana psikis Anda saat mengamatinya. Meskipun perhatian Anda tertuju hanya kepada daun, tetapi pasti Anda sadar sesadar-sadarnya bahwa daun itu hanyalah sebagian dari bagian-organis tanaman, dan tanaman itu adalah rambutan. Oleh karena daun itu hanya sebagian organ, maka pasti ia bersangkut-paut dengan bagian-bagian lain (akar, batang, dst.). Tetapi kita bisa membedakan bahwa daun bukanlah akar, dan akar bukanlah batang. Begitulah seterusnya kesadaran Anda dari saat ke saat selama melakukan pengamatan Oleh karena itu, praktik-praktik dalam ilmu ragawi biasanya bisa lebih dijamin kebenarannya daripada ilmu non-ragawi. Sehingga, bagian-bagian yang diamati secara terpisah pun, setelah disatukan akan membangun suatu sistem konsistensi logika yang utuh. Pada contoh di atas, rangkaiannya membentuk bangun tanaman rambutan. Suatu bangun yang membentuk sistem konsistensi logika yang utuh, itulah fakta namanya. Berdasarkan uraian di atas, maka berlaku prinsip umum :
Suatu penelitian menghendaki Anda mengukur/mengamati karakter daun tanaman rambutan. Perhatikan kata daun, tanaman dan rambutan. Dan perhatikan pula, bagaimana suasana psikis Anda saat mengamatinya. Meskipun perhatian Anda tertuju hanya kepada daun, tetapi pasti Anda sadar sesadar-sadarnya bahwa daun itu hanyalah sebagian dari bagian-organis tanaman, dan tanaman itu adalah rambutan. Oleh karena daun itu hanya sebagian organ, maka pasti ia bersangkut-paut dengan bagian-bagian lain (akar, batang, dst.). Tetapi kita bisa membedakan bahwa daun bukanlah akar, dan akar bukanlah batang. Begitulah seterusnya kesadaran Anda dari saat ke saat selama melakukan pengamatan Oleh karena itu, praktik-praktik dalam ilmu ragawi biasanya bisa lebih dijamin kebenarannya daripada ilmu non-ragawi. Sehingga, bagian-bagian yang diamati secara terpisah pun, setelah disatukan akan membangun suatu sistem konsistensi logika yang utuh. Pada contoh di atas, rangkaiannya membentuk bangun tanaman rambutan. Suatu bangun yang membentuk sistem konsistensi logika yang utuh, itulah fakta namanya. Berdasarkan uraian di atas, maka berlaku prinsip umum :
a. Keseluruhan tidak sama dengan jumlah bagian-bagiannya
b. Keseluruhan sama dengan keseluruhan itu sendiri
Dengan
demikian konsep berpikir holistik dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam
kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat seperti
ini perlu dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam
rangka manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan
tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah
eksistensi yang utuh. Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena manusia
sebab hanya manusia lah yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat
diminta pertanggungjawaban terhadap pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang
diakibatkan oleh pikiran itu sendiri. Pikiran merupakan kesatuan yang utuh
dengan aneka kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan roh) yang kompleks serta
beranekaragam. Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari dalam pikiran
itu sendiri, sebab bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi justru manusia
lah yang berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa manusia maka pikiran tidak
memiliki arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal
atau rasio yang sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan
keyakinan sebagai kesatuan yang utuh.
2. Suatu pola pikir dengan cara melihat keseluruhan
sistem seakan-akan kita berada diatas helicopter dan melihat semua komponen
sistem itu berinteraksi satu dan lainnya dibawah. Artinya kita selalu berpikir
lebih luas dan memahami bahwa suatu bagian itu berkoneksi dengan bagian
lainnya. Sehingga ketika ada gejala ketidak beresan, yang diperlukan adalah
melihat dan bertanya sampai kita menemukan akarnya. Inilah yang penting
dimiliki oleh individu yang ingin lebih maju.
3. Model berpikir yang menggunakan model divergen dan
konvergen secara bertahap. Kemampuan menggunakan kedua model berpikir tersebut,
ditambah kemampuan “melihat” hubungan antara ide-ide atau informasi-informasi
yang sebelumnya tidak terhubung merupakan dasar bagi berpikir cerdas.
Secara
singkat, holistic thinking adalah
aktivitas berpikir yang merupakan gabungan antara dimensi-dimensi spiritual
(moral, etika, tujuan hidup), psikososial (motivasi, empati), rasional (tingkat
pertama dan tingkat kedua, lihat penjelasan di bawah), dan fisikal (eksekusi,
implementasi, menerima umpan balik). Kecerdasan pada dimensi-dimensi tersebut
dilabeli dengan istilah SQ (spiritual), EQ (emosional), IQ (rasional), dan PQ
(fisikal). Contoh sederhana adalah ketika sesorang membuat masalah dengan kita,
orang yang pikirannya sempit akan langsung menghajar dan memukulinya. Tetapi
untuk orang yang cerdas akan mencari penyebab masalahnya dan menyelesaikannya
dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar