Apa yang di maksud dengan kematian? dan bagaimana perspektif
filsafat dalam memandang kematian itu sendiri. Itulah diantaranya pertanyaan
saya mengenai kematian. Semua makhluk yang bernyawa pasti mengalami kematian, khususnya
manusia. Kematian adalah proses yang alami. Ia telah berlangsung selama puluhan
juta tahun di berbagai jenis kehidupan, dan dapat dipastikan akan terus
berlangsung, sampai waktu yang tak dapat ditebak. Seperti dinyatakan oleh Steve
Jobs pada pidatonya di Universitas Standford, kematian membuka peluang bagi
yang baru untuk berkembang, dan yang lama untuk pergi. Kematian memastikan,
bahwa roda dunia tetap berputar, dan dunia terus diperbarui oleh wajah-wajah
baru yang sebelumnya tak ada.
Berbicara tentang kematian tentu tidak bisa
dilepaskan dari konteks filsafat, sebab kematian merupakan bahan kajian
kefilsafatan yang tidak akan pernah usai dibicarakan. Pemahaman terhadap konsep
kematian dilandasi oleh pandangan tentang manusia.
Bagaimana Plato seorang fisuf besar Yunani
berbicara tentang kematian? Plato mengartikan kematian sebagai pemisahan bagian
ruhaniah, yaitu jiwa, dari bagian fisik, yaitu badan. Setelah dipisahkan dari
tubuh, jiwa dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan arwah orang lain yang telah
meninggal, dan dibimbing oleh arwah pelindung melalui peralihan dari kehidupan
fisik ke dunia selanjutnya. Dia menyebutkan bagaimana beberapa orang
mengharapkan dijemput oleh sebuah perahu pada waktu kematian mereka, yang akan
membawa mereka mengarungi lautan menuju “pantai seberang”. Lebih lanjut Plato
menegaskan bahwa jiwa yang telah dipisahkan dari tubuh pada waktu kematian
dapat berpikir dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan lebih jelas dari
sebelumnya. Segera setelah kematian kata Plato, jiwa menghadapi “pengadilan”
tempat suatu “makhluk” Yang Agung memperlihatkan di hadapannya semua yang telah
dilakukannya, apakah itu baik atau buruk, dan memaksa jiwa menghadapinya.
Dengan kata lain, tatkala jiwa sudah sampai kepada alam yang menjadi asal-usulnya,
maka kepadanya akan diperlihatkan segala yang telah dia perbuat pada saat
berada di dunia materi. Pada saat itu jiwa akan melihat segala yang terhalang
baginya disebabkan oleh terlingkupi jasad—di dunia. Jiwa akan sadar terhadap
baik dan buruk perilaku yang telah diperbuatnya di dunia karena pengaruh jasad.
Namun dalam hal ini, Plato tidak menjelaskan apakah jiwa akan dimintai
pertanggungjawaban atas semua yang terjadi di alam dunia, sebagaimana yang
termaktub dalam kitab suci agama-agama samawi. Berbeda dengan Plato, sang
murid, Aristoteles, dalam memahami manusia menempuh jalan sendiri.
Ketika manusia mati ada sesuatu yang tetap
abadi yakni ruh aktif. Jiwa itu bersifat Ilahiah karena berasal dari Yang Satu
melalui Jiwa Dunia. Sedangkan tubuh berasal dari materi yang bisa menyebabkan
jiwa dikuasai oleh nafsu dan penderitaan. Pada saat kematian manusia, maka jiwa
berpisah dari tubuh. Jiwa meninggalkan tubuh dan dengan tanpa wujud kembali ke
Jiwa Dunia. Pada saat kematian, jiwa menyisihkan yang jasmani dan kembali
kepada yang ideal dan ruhani. Lewat pintu kematian, jiwa menuju kepada
kemungkinan ultim-nya. Kemungkinan ultim ini terbuka bagi setiap orang,
sehingga pada saatnya semua makhluk yang berjiwa akan kembali kepada Yang Satu.
Mungkin yang dimaksudkan oleh Plotinos dengan Yang Satu itu adalah Allah. Hal
ini ditegaskan oleh Hatta (1986 : 166) dengan menyatakan bahwa Plotinos dalam
melihat segala yang ada dalam kosmos bertolak dari pemikiran adanya Allah
sebagai yang tak terhingga pangkal segala-galanya.
Rene Descartes (1596-1650), yang diberi
predikat sebagai Bapak Filsafat Modern, Menurut pendapatnya, jiwa dan tubuh
adalah yang ruhani dan jasmani pada manusia. Tubuh dapat dilihat dalam
bagian-bagiannya, sedangkan jiwa tidak. Jiwa adalah substansi yang tunggal,
yang tidak bersifat bendawi dan tidak dapat mati. Pemikiran merupakan sifat
asasi dari jiwa. Yang termasuk pemikiran ialah segala sesuatu yang terjadi di
dalam diri manusia dengan sepengetahuannya, yaitu segala perbuatan pengenalan
inderawi, khayalan, akal, kehendak. Kesadaran menjadi sifat hakiki dari
pemikiran. Sementara itu, tubuh pun memiliki sifat asasinya, yakni keluasan.
Segala perbuatannya disebabkan oleh sebab-sebab mekanisnya sendiri. Di antara
tubuh dan jiwa ada pertentangan yang tidak terjembatani. Kesatuan yang tampak
menurut Descartes hanya bersifat lahiriah saja, karena sesungguhnya
masing-masing mewujudkan hal yang berdiri sendiri-sendiri. Hakikat manusia ada
pada jiwanya dan tubuh diperalat oleh jiwa.
Walaupun Descartes tidak berbicara secara
langsung tentang kematian, namun dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa
dia memaklumi ada yang abadi dalam diri manusia, yaitu jiwa. Jiwa tak
berkeluasan dan bebas dari ikatan tubuh. Ketika manusia mengalami kematian,
unsur tubuh akan musnah tetapi jiwa akan tetap kekal dan hanya jiwa yang akan
dapat mencapai kebenaran tertinggi. Kebenaran tertinggi yakni kebenaran yang
bukan merupakan hasil dari saling mempengaruhi antara jiwa dengan tubuh,
melainkan kebenaran yang hanya diketahui oleh jiwa karena ketidakterikatannya
terhadap tubuh.
Kematian, menurut Sartre, adalah suatu
kenyataan yang muncul secara tiba-tiba dan buta, sehingga manusia tidak akan
mampu untuk memahami dan mengontrolnya. Dia datang tanpa waktu yang jelas,
menerobos dengan kejam dan selalu menggagalkan manusia dalam usahanya
mengokohkan kehidupan. Kematian menjadi akhir kehidupan manusia yang penuh
dengan kesia-siaan. Disebabkan kematian, semua kemungkinan yang telah kita
realisasikan dalam kehidupan dimusnahkan. Kehidupan berubah menjadi
kepingan-kepingan tiada makna. Hidup menjadi sia-sia belaka di dalam kematian.
Emmanuel Levinas mengemukakan
setidaknya terdapat lima fungsi kematian, yaitu :
1.
Kematian
mendorong manusia untuk menciptakan struktur kehidupan, untuk menciptakan
berbagai kemungkinan yang lebih manusiawi. Dengan demikian, kematian mengandung
nilai edukatif yakni mendorong manusia untuk bertindak, mengatasi dan membangun
segala-galanya. Manusia ingin menunda kematian, maka dia perlu untuk
menciptakan kondisi yang memungkinkan kematian dapat dielakkan dalam arti
penangguhan kejadiaannya. Manusia dapat menggunakan sisa-sisa hidupnya dengan
melakukan berbagai tindakan yang baik.
2.
Kematian akan
merealisir, mengkomparasikan, mengaitkan dengan barang-barang yang ada di dunia
ini. Jika manusia mati, tidak satu pun barang-barang yang akan dibawa kecuali
apabila itu disertakan oleh keluarganya ke liang kuburnya. Ketika manusia mati,
maka segala yang dimiliki tidak akan berguna lagi dan ditinggalkan sebagai
barang jarahan.
3.
Kematian akan
merealisir peranan manusia di dalam masyarakat. Kematian mengajarkan adanya
kesamaan yang mutlak untuk setiap orang. Orang yang mati di tempat tidur yang
empuk dengan orang yang mati merana adalah sama, kedua-duanya sama-sama mati
dengan terpisahnya jiwa sebagai substansi dengan tubuh.
4.
Kematian
menelanjangi manusia dari egoisme kekuasaan dan kejayaannya. Maka pada dasarnya
manusia adalah sama dan hanya kematianlah yang dapat menunjukkan bahwa manusia
mutlak sama. Adanya perbedaan kaya-miskin akan ditiadakan oleh kematian.
5.
Kematian memberi
makna bahwa manusia itu pada akhirnya memberi arti total pada sejarah hidupnya.
Bila manusia sudah mati maka dia tidak dapat lagi mengubah orientasi hidupnya
(Sudarminto 1990 28-33)
Berbagai uraian seputar kematian dalam persperktif filsafat tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya kematian bukan merupakan akhir eksistensi manusia. Kematian bukanlah peristiwa pasif yang terjadi pada manusia yang setelah itu tak memiliki makna apa pun lagi. Kematian hanyalah batas akhir dari garis waktu yang terbentang dalam sejarah hidupnya di dunia, setelah itu eksistensi manusia akan memasuki dimensi lainnya, yakni hidup dalam kehidupan yang abadi dalam alam kelanggengan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar