Berfilsafat memang memberikan manfaat
“praktis” yang cukup luas dan berjangka panjang. Perbedaan di antara para
filsuf terletak pada konsekuensi-konsekuensi pengetahuan filsafat bagi
bidang-bidang semisal kebahagiaan pribadi, tindakan pribadi, kemasyrakatan dan
pendidikan. Untuk menilai konsekuensi-konsekuensi itu, terlebih dahulu kita
harus memahami apa-apa yang tidak termasuk di dalamnya. Kita perlu meluruskan
beberapa kesalahpahaman terhadap tujuan filsafat. Berikut kesalahpahaman yang
sering terjadi mengenai tujuan filsafat.
Pertama, filsafat tidak bertujuan untuk
bersaing dengan sains. Dua bidang ilmu hanya dapat bersaing jika objek kedua
bidang itu pada prinsionya sama. Persoalan–persoalan konseptual yang menjadi
perhatian para filsuf berbeda jenisnya dengan proses alam yang menjadi kajian
para ilmuwan. Terlebih lagi, para ilmuwan berusaha menjelaskan fenomena alam,
sementara para filsuf bukan saja tidak berkompeten, melainkan bahkan tidak
pernah mencoba menjelaskan fenoma alam. Namun, dalam arti tertentu, tujuan
sains dan filsafat mungkin dapat dikatakan bertumpang tindih juga, sejauh
masing-masing mencoba mencari pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
Kedua, filsafat tidak bertujuan untuk bersaing dengan teologi. Sama seperti
para filsuf, para teolog juga mendukung pandangan yang mereka lontarkan dengan
pertimbangan rasional, dan sama-sama mengkaji persoalan-persoalan non-empiris
yang berada di luar jangkauan sains. Terlebih lagi, teologi telah mengalami lingkup
dan tujuan teologi. Namun, filsafat dan teologi, meskipun dapat
diperbandingkan, memiliki tujuan yang berbeda.
Teologi tradisional terbagi menjadi
teologi wahyu (revealed theology) dan
teologi kodrati (natural theology).
Dalam teologi wahyu, akal berfungsi untuk menafsirkan dan mempertahankan
dogma-dogma yang kebenaranya diterima berdasarkan iman. Dalam hal ini, tujuan
teologi kodrati, keyakinan-keyakinan pokok, terutama yang berkenaan dengan
eksistensi Allah, didukung dengan argumen-argumen rasional, terlepas dari iman
dan autoritas. Dalam hal ini, objek dan metode teologi kodrati sebagian
berimpitan dengan filsafat. Para filsuf juga tertarik untuk memberikan
pertimbangan, dukungan, atau kritik secara rasional terhadap argumen-argumen
mengenai eksistensi Allah. Namun, tujuan filsuf dan teolog berbeda.
Terakhir, bukan tujuan filsafat untuk
secara aktif menganjurkan perubahan-perubahan, baik perubahan diri pribadi
maupun perubahan sosial. Berlawanan dengan anggapan keliru yang ada di benak
banyak orang hingga kini, para filsuf tidak mengantongi “rahasia jawaban”
tentang apa seseungguhnya hidup ini. Dalam hal itu biasanya mereka tidak
berpura-pura. Hampir semua guru filsafat pernah dibuat terpaku oleh permintaan
seperti “Anda seorang filsuf kan? Nah, katakana apa yang harus saya lakukan “
(bercerai, meninggalkan tugas jaga, ikut dalam gerakan revolusi, mencari resep
pil KB untuk anak gadis saya yang berumur lima belas tahun, dan lain-lain).
Tujuan filsafat tidak boleh dikacaukan dengan tujuan seorang menteri,
politikus, psiko-analis, ataupun konselor pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar